Pola Pikir Berbahaya dari JAKSA AGUNG

Beberapa waktu yang lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP)) dengan Komisi III DPR RI, Jaksa Agung membuat pernyataan yang berkaitan dengan adanya isu makelar kasus di Kejaksaan yang merupakan buntut dari diputarnya rekaman percakapan sejumlah pejabat dengan Anggodo dalam kasus Bibit – Chandra dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Isi pernyataan tersebut dalam pemahaman yang sederhana : “UNTUK MENIADAKAN MAKELAR KASUS/MAFIA PERADILAN, MAKA KEJAKSAAN BUTUH DANA 10 TRILIUN”.

Pernyataan seperti ini sungguh berbahaya, karena jaksa agung menjustifikasi bahwa adanya makelar kasus/mafia peradilan, bersumber dari soal finansial/gaji pegawai yang rendah, sehingga untuk memberantasnya harus dengan menaikkan gaji para pegawai kejaksaan.

Coba kita ingat pada saat kita melamar kerja dulu sebagai PNS/TNI/POLRI. Bukankah kita telah sama-sama tahu bahwa gajinya rendah.

Toh kita tetap nglamar kerja juga, itu berarti bahwa kita telah setuju dengan gaji yang diberikan oleh negara beserta tanggung jawab yang melekat dalam pekerjaan itu. Selain itu kita juga telah disumpah untuk bekerja secara jujur, amanah, profesional dan mampu menjaga kerahasiaan negara.
Dari hal tersebut maka sebenarnya tidak ada alasan apapun yang membenarkan seorang abdi negara melakukan penyimpangan. Perkara gaji pegawai masih perlu ditingkatkan itu persoalan lain, tetapi tindakan menjadi makelar kasus/mafia peradilan murni tindakan kriminal yang bersumber dari degradasi moral (baca : tidak berakhlak).

Coba bayangkan kalau pola pikir jaksa agung tersebut dipakai oleh seluruh abdi negara. Hal ini sama saja mendidik para abdi negara untuk melakukan penyimpangan dulu (untuk dapat uang tambahan), agar gaji mereka dinaikkan. Sebab selama ini gajinya kecil, sehingga untuk menambah penghasilan boleh melakukan apa saja. Nanti kalau ketahuan tinggal bilang : SAYA BUTUH DANA 100 T, BARU SAYA BISA BEKERJA DENGAN BENAR. Teerrr laa luuu………….